Saham Bank Besar Masih Prospektif, Analis Rekomendasikan BBCA dan BMRI

Jumat, 10 Oktober 2025 | 08:42:33 WIB
Saham Bank Besar Masih Prospektif, Analis Rekomendasikan BBCA dan BMRI

JAKARTA - Menjelang berakhirnya kuartal ketiga 2025, perhatian pelaku pasar saham kembali tertuju pada sektor perbankan.

Saham-saham bank besar seperti BRI, Mandiri, dan BCA menjadi sorotan utama karena hasil kinerja keuangan yang akan segera dirilis diyakini dapat menentukan arah pasar modal hingga tutup tahun.

Meskipun kinerja industri perbankan masih menunjukkan fundamental yang solid, sejumlah laporan laba bersih per Agustus 2025 ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan proyeksi analis. Kondisi ini membuat investor semakin cermat menanti data kuartalan yang akan menjadi tolok ukur kekuatan sektor keuangan nasional di tengah dinamika ekonomi global.

Laba Bank Besar Belum Sesuai Proyeksi

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) misalnya, melaporkan laba bersih sebesar Rp32,6 triliun hingga Agustus 2025. Padahal, konsensus Bloomberg memperkirakan laba BRI untuk sembilan bulan pertama tahun ini bisa mencapai Rp41,05 triliun. Artinya, BRI perlu mengumpulkan tambahan sekitar Rp8,4 triliun hanya dari kinerja September agar tetap berada di jalur target yang diharapkan.

Situasi serupa juga terjadi pada PT Bank Mandiri Tbk (BMRI). Bank pelat merah tersebut mencatatkan laba Rp30,65 triliun hingga Agustus, masih di bawah proyeksi analis sebesar Rp36,93 triliun untuk periode yang sama.

Keterlambatan pencapaian laba ini menjadi perhatian pelaku pasar, meski secara umum indikator fundamental seperti pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) masih menunjukkan tren positif.

Likuiditas Perbankan Masih Terjaga

Menurut Analis Senior Bloomberg, Sarah Jane Mahmud, kondisi likuiditas di sektor perbankan masih dalam tahap pemulihan yang sehat. Ia mencatat bahwa DPK empat bank besar tumbuh 11,2% secara tahunan (year on year), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kredit yang hanya mencapai 9,4%.

Namun, Sarah juga menyoroti adanya persaingan ketat dalam menarik deposito berdenominasi dolar AS, terutama dengan rencana kenaikan bunga deposito hingga 4% pada November mendatang. Situasi tersebut, menurutnya, bisa menekan net interest margin (NIM) bank-bank besar dan berpotensi memengaruhi profitabilitas pada kuartal terakhir.

“Penyaluran kredit kemungkinan akan meningkat berkat stimulus baru. Namun, bila porsi kredit untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dipaksa naik, kualitas aset bisa terganggu dan biaya kredit berisiko melampaui perkiraan 6%,” ungkap Sarah.

Ia menambahkan, kehati-hatian dalam ekspansi kredit menjadi kunci bagi perbankan untuk menjaga stabilitas margin dan kualitas aset menjelang akhir tahun.

Prospek Pertumbuhan Kredit Masih Terbuka

Dari sisi optimisme pasar, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Indy Naila, menilai bahwa ruang pertumbuhan kredit masih cukup luas hingga akhir tahun. Data terakhir menunjukkan pertumbuhan kredit mencapai 7,56% per Agustus 2025, dan diperkirakan bisa meningkat menjadi 8%–9% menjelang Desember.

“Pertumbuhan kredit akan tetap positif, meskipun tekanan biaya dana meningkat. Namun, bank dengan portofolio kredit korporasi yang kuat, seperti Mandiri dan BCA, cenderung lebih unggul,” jelas Indy.

Dari empat bank besar yang menjadi indikator utama sektor keuangan, Mandiri mencatat pertumbuhan kredit tertinggi sebesar 10,74% (yoy), disusul BCA dengan 9,27% (yoy) hingga Agustus.

Indy pun memberikan rekomendasi beli untuk dua saham unggulan — BBCA dan BMRI — yang dinilai masih undervalued dibandingkan prospek fundamentalnya. Ia menetapkan target harga BBCA di kisaran Rp8.500–Rp9.000 per saham, sementara BMRI di level Rp5.000.

Dukungan Kebijakan dan Arah Sektor ke Depan

Optimisme juga datang dari analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Miftahul Khaer, yang menilai ruang pertumbuhan kredit dua digit masih sangat mungkin tercapai tahun ini. Hal ini sejalan dengan target Bank Indonesia (BI) yang memproyeksikan pertumbuhan kredit di kisaran 8%–11% sepanjang 2025.

“Batas atas target BI memberi peluang bagi bank-bank besar untuk mempercepat ekspansi kredit, terutama di segmen korporasi dan sektor unggulan seperti pertambangan serta infrastruktur,” ujarnya.

Kebijakan moneter yang lebih longgar, termasuk potensi penurunan suku bunga acuan, dinilai dapat menjadi katalis tambahan bagi peningkatan permintaan kredit di kuartal IV-2025. Dengan kondisi likuiditas yang masih terjaga dan dukungan kebijakan pemerintah terhadap sektor UMKM, perbankan nasional diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan stabil hingga akhir tahun.

Tantangan Margin dan Risiko Kualitas Aset

Meski prospek perbankan terbilang positif, sejumlah risiko tetap perlu diwaspadai. Salah satunya adalah penurunan margin bunga bersih (NIM) akibat peningkatan biaya dana dan tingginya kompetisi antarbank dalam menarik simpanan. Selain itu, potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL) dari segmen UKM juga menjadi catatan penting.

Jika bank-bank besar tidak mampu menjaga efisiensi operasional dan kualitas asetnya, tekanan terhadap laba bersih bisa berlanjut hingga awal tahun depan. Namun, bagi investor jangka panjang, kondisi saat ini justru membuka peluang akumulasi saham bank dengan fundamental kuat.

Sektor Bank Tetap Jadi Pilihan Utama Investor

Dengan semua dinamika tersebut, saham bank besar seperti BBCA, BMRI, dan BBRI tetap menjadi pilihan utama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Stabilitas kinerja, rasio keuangan yang sehat, dan dukungan pemerintah terhadap sektor perbankan menjadikan saham-saham tersebut sebagai portofolio andalan investor institusional maupun ritel.

Kini pasar menanti apakah pada laporan kuartal ketiga nanti, bank-bank besar mampu mengejar ketertinggalan dari proyeksi analis dan mengonfirmasi prospek cerah sektor keuangan nasional di penghujung 2025.

Terkini